Irna Gustia - detikHealth
Adan (dok.Pribadi)
Jakarta, Bicaranya masih belum lancar. Kosa katanya belum banyak dan kadang-kadang diucapkan terbalik atau kurang. Adan bocah 9 tahun ini memang sedang dalam proses belajar mendengar, bicara dan berbahasa layaknya anak usia 2 tahun.Ramdhan Adya Pramana Putra atau Adan terlahir dalam kondisi tidak bisa mendengar atau tuli. Penyebabnya karena terkena virus Rubella. Gara-gara virus ini pula, Adan pernah menjalani operasi jantung.
Bocah lelaki itu terdeteksi tuna rungu pada usia 2 tahun dengan batas ambang tuli 100-110 desibel (dB) pada telinga kanan dan kiri. Sejak dideteksi tuli, Adan menggunakan Alat Bantu Dengar (ABD) model Hearing Aid pocket, ABD analog sampai ABD digital, termasuk Bone Conduction juga pernah dicoba.
Ketika usia sekolah, Adan dimasukkan orangtuanya ke salah satu SLB Tuna Rungu di Jakarta dari TK sampai SD kelas 2. Selama 7 tahun memakai ABD dan sekolah di SLB, perkembangan bahasa dan kognitif Adan agak lambat, walaupun tes IQ menunjukkan angka superior.
Sampai terakhir dia keluar dari SLB untuk operasi Cochlear Implants (CI) atau penanaman di rumah siput telinga bagian dalam pada Juni 2009, Adan hanya menguasai sedikit bahasa isyarat dan kosataka sedikit sekali.
"Saya sebenarnya sadar bahwa ABD kurang membantu anak kami, karena untuk tuli di atas 90 dB sebenarnya sudah tidak efektif karena levelnya hanya membantu deteksi suara saja. Dari sanalah saya mempelajari solusi lain dan menemukan teknologi CI ini," kata sang ayah, Bobby Pramana ketika berbincang dengan detikHealth, Sabtu (13/3/2010).
Orangtua Adan sebenarnya sudah lama ingin melakukan CI namun terbentur hambatan. Orangtua Adan takut terjadi risiko, terlebih Adan pernah dioperasi jantung karena PDA dan mengalami masalah pasca-operasinya. Hambatan kedua, biaya yang cukup besar hingga Rp 300 juta untuk operasi dan alatnya saja, belum termasuk habilitasinya.
"Sambil menabung dan memupuk keberanian, kami tidak hentinya mencari referensi tentang CI dari berbagai sumber. Dari sana kami sudah mengenal beberapa pembuat CI," kata Bobby.
Semua operasi CI secara konsep sama yaitu memberikan kemampuan membedakan (diskriminasi) suara langsung ke saraf di rumah siput karena bulu getar sudah rusak. Walaupun sensasi suara yang dihasilkan masih sepert suara robot, tapi cukuplah bagi anak tuna rungu untuk membedakan suara.
Sampai akhirnya, orangtua Adan mendengar tentang CI IES (I Enjoy Sound) dari Korea. Meski sebelumnya Bobby juga mengaku ragu, apa benar alat ini berfungsi. Sehingga sebelum memutuskan memakai CI, dipelajari semua literatur tentang alat ini dan contoh-contoh hasil yang ada.
CI IES memiliki kelebihan:
- Operasi lebih sederhana (transcanal biasa) dan trauma cochlear sangat kecil, yang sangat penting untuk menjaga residu pendengaran.
- Operasi tanpa melakukan tindakan khusus di tulang tengkorak dan biasanya butuh waktu kira-kira 1/2 jam - 1 jam, sedangkan alat lain butuh waktu minimal 2 jam.
- Biaya alat ini hanya 50 persen dari alat yang sudah ada (sekitar Rp 150 juta untuk alat dan operasi ) dan mappingnya lebih sederhana.
- Alat ini bisa memberikan intonasi (biasanya lebih dikenal sebagai suprasegmental) sehingga pada bahasa China dan sekitarnya yang banyak menggunakan intonasi untuk memberi arti yang berbeda keberhasilannya cukup tinggi.
"Kami memilih ini karena melihat Adan yang sudah 9 tahun tapi belum mengenal konsep bahasa dua arah, akhirnya kami memberanikan diri mengimplan anak saya dengan alat ini," katanya.
Bagaimana hasilnya setelah operasi CI?
Dengan usaha keras dan melakukan terapi pasca-operasi dalam 2 bulan Adan sudah bisa mengeluarkan seluruh artikulasi konsonan Bahasa Indonesia yang dulunya sangat-sangat sulit walaupun sudah berusaha keras diajari.
Dari situ, Adan mulai bisa membaca dan kosakatanya berkembang pesat. Saat ini setelah 6 bulan operasi, Adan sudah masuk sekolah umum di SD Islam Mutiara Harapan Bintaro, sebelumnya Adan sudah kenyang dengan pengalaman ditolak oleh sekolah umum. Sekolahnya merupakan sekolah inklusi yang menerima anak berkebutuhan khusus. Adan kembali mengulang ke kelas 1 karena beberapa pertimbangan.
"Saya hanya berharap semoga kemajuan teknologi dapat membantu semakin banyak Anak Tuna Rungu yang bisa kembali mendengar dengan semakin terjangkaunya alat ini," harap Bobby.
Adan melakukan operasi CI di Rumah Sakit THT Proklamasi Jakarta. Untuk proses operasi, setiap kandidat harus melalui pemeriksaan lengkap THT klinis dan audiologi seperti OAE, Tympano, FFT, BERA, ASSR, CT scan dan prosedur pemeriksaan pra operasi standar lainnya. Juga konsultasi dengan psikolog karena CI ini memerlukan komitmen orangtua yang kuat dalam habilitasi pendengarannya.
Setelah operasi dan alat di-switch on (dihidupkan) maka proses habilitasi mendengar dan bicara dimulai. Rata-rata anak-anak membutuhkan waktu 2 - 3 tahun sampai lancar bicara dan membedakan suara.
Proses belajarnya melalui tahapan
1. Sadar akan adanya suara dan deteksi suara (Awareness and Sound Detection)
2. Belajar membedakan suara (Discrimination)
3. Belajar mengenal suara yang berbeda-beda (Identification)
4. Belajar memahami makna suara (Comprehention) sebelum menjadi bahasa
Kini dunia Adan tak sesunyi dulu, bocah yang senang menggambar itu tinggal meneruskan latihannya agar cepat bicara dan mendengar seperti normalnya
No comments:
Post a Comment