Bahan di Rokok Elektrik yang Bisa Menyebabkan Kanker
Vera Farah Bararah - detikHealth(dok: bpom)
"Pada rokok elektrik ini niktoin dilarutkan dengan larutan seperti propilen glikol atau gliserin, jika bahan ini dipanaskan maka akan membentuk senyawa nitrosamine yang juga bisa menyebabkan kanker," ujar Kepala BPOM Dra Kustantinah, Apt, M.App.Sc dalam acara jumpa pers di gedung BPOM, Jl. Percetakan Negara, Jakarta, Jumat (13/8/2010).
Jika pada rokok biasa atau rokok konvensional terkandung berbagai zat selain nikotin seperti tar. Pada rokok elektronik menurut Kustantinah ada kemungkinan kandungan nikotinnya lebih besar daripada rokok biasa karena tidak mengandung zat lainnya.
Rokok elektronik ini pertama kali ditemukan oleh negara China pada tahun 2003, tapi sekarang rokok ini sudah dilarang di negara tersebut. Beberapa negara lain seperti Australia, Brazil, China, Singapura, Thaliand dan Uruguay juga telah mempunyai larangan terhadap penjualan dan pemasaran rokok elektrik ini.
"Untuk di Indonesia sendiri pelarangan atas rokok ini harus berkoordinasi dengan kementerian lain yang terkait seperti kementerian perdagangan," ungkap Kustantinah.
Beberapa penelitian mengenai produk ini menemukan adanya banyak racun yang terkandung dalam produk rokok elektronik. Salah satunya adalah penelitian Dr Andreas Flouris dari FAME Laboratory Institute of Human Performance and Rehabilitation Center for Research and Technology, Yunani, yang menemukan hasil sebagai berikut:
1. Propilen glikol, yang berpotensi menyebabkan keracunan.
2. N-nitrosamine khusus tembakau, yang merupakan karsinogen kuat (penyebab kanker).
3. Hidrokarbon polisiklik, racun yang bersifat non-karsinogen.
4. Dietilen glikol yang sangat beracun dengan kadar 1 persen.
Produk ini diklaim dapat menjadi alternatif bagi perokok yang ingin berhenti merokok. Namun, pada dasarnya produk ini sama berbahayanya dengan rokok konvensional, meski tak merugikan orang lain (tidak ada perokok pasif).
Selain itu belum ada klasifikasi yang jelas tentang produk ini, apakah termasuk rokok, produk subsitusi, obat atau makanan. Sehingga sampai sekarang, baik BPOM maupun Kementerian Kesehatan belum bisa mengawasi peredaran produk ini.
No comments:
Post a Comment